Lifescifi

Oleh: Sri Gilang Muhammad Sultan Rahma Putra, Peneliti Pusat Riset Hukum – OR IPSH BRIN

Kerap kali kita mendengar keluhan dari sesama peneliti mengenai minimnya pemanfaatan hasil riset dalam merumuskan kebijakan. Keluhan ini seringkali disertai dengan ketidakpedulian pengambil kebijakan terhadap hasil riset, lebih memilih masukan dari pihak lain yang dianggap lebih sesuai dengan kepentingannya. Namun, apakah faktor ketidakpedulian atau ketidaksesuaian dengan kepentingan semata yang menjadi alasan hasil riset tidak diintegrasikan ke dalam kebijakan?

Faktor Internal dalam Riset sebagai Pemegang Peran

Setelah menghabiskan 8 tahun sebagai PNS Peneliti di Pemerintahan, saya merenung tentang permasalahan ini. Refleksi ini bersifat pribadi dan tak bisa terhindar dari unsur subjektivitas, namun diharapkan dapat menjadi panggilan untuk otonom kritis dan perbaikan. Identifikasi saya terhadap 6 faktor internal menjadi poin kunci dalam menjawab ketidakselarasan ini.

  1. Keraguan Terhadap Kualitas Riset
    Kualitas hasil riset menjadi faktor utama. Sebelum hasil riset dianggap sebagai dasar kebijakan, perlu memastikan bahwa hasil riset dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Keraguan ini timbul seiring masalah pada ekosistem ilmiah, terutama terkait perjokian publikasi ilmiah yang meragukan kompetensi dan integritas peneliti.
  2. Tidak Terkomunikasikannya Hasil Riset
    Hasil riset sering kali disampaikan dalam bahasa ilmiah pada media khusus, sulit dijangkau oleh pembuat kebijakan yang sibuk. Komunikasi harus disederhanakan dan hasil riset harus diterjemahkan ke dalam bahasa kebijakan agar dapat diakses oleh pembuat kebijakan.
  3. Faktor Waktu Riset
    Proses riset yang memakan waktu bertentangan dengan kebutuhan kebijakan yang seringkali harus diambil secara cepat. Pembuat kebijakan cenderung mencari alternatif bahan pertimbangan yang lebih cepat tersedia.
  4. Keterbatasan Kedalaman Hasil Riset
    Riset yang dilakukan dalam waktu singkat cenderung hanya menyentuh permukaan masalah, menyebabkan rekomendasi kebijakan menjadi parsial. Kedalaman riset menjadi penting, namun seringkali waktu yang terbatas tidak memungkinkan untuk meraihnya.
  5. Kondisi Ideal pada Hasil Riset
    Rekomendasi hasil riset seringkali menciptakan gambaran ideal yang sulit diimplementasikan oleh pembuat kebijakan yang mungkin tidak memiliki kewenangan penuh. Kompromi dengan realitas menjadi tantangan, dan hasil riset tidak selalu dapat diwujudkan sepenuhnya.
  6. Peneliti Bukan Satu-satunya Pemengaruh Kebijakan
    Dalam dinamika pembuatan kebijakan, peneliti dan akademisi bukanlah satu-satunya pemegang pengaruh. Berbagai aktor, seperti penasihat kebijakan, media massa, kelompok kepentingan, dan lainnya, juga turut memengaruhi. Pembuat kebijakan harus mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak.

Melalui refleksi ini, kita diingatkan bahwa kebijakan yang baik membutuhkan integrasi yang matang antara hasil riset dan proses pembuatan kebijakan. Dengan memahami dan mengatasi faktor internal ini, kita dapat memperkuat ekosistem ilmiah dan memastikan kontribusi yang lebih berarti dalam perumusan kebijakan. Semoga refleksi ini menjadi inspirasi untuk peningkatan kolaborasi dan efektivitas antara dunia riset dan kebijakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *